Jumat, 16 November 2012

HUKUM MENGANGKAT TANGAN DALAM BERDO'A

HUKUM MENGANGKAT TANGAN DALAM BERDO'A

Oleh
Syaikh Dr. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin Al Abbad


Mengangkat kedua tangan dalam berdo'a kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, termasuk adab yang agung. Demikian terdapat di banyak hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagian ulama menggolongkannya ke dalam hadits mutawatir secara makna.

Di dalam Tadribur Rawi Syarh Taqrib Imam Nawawi, ketika mencontohkan hadits-hadits yang mutawatir secara maknawi, Imam Suyuthi rahimahullah berkata : ”Diriwayatkan dari Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sekitar seratus hadits berisi tentang do'a dengan mengangkat tangan. Saya mengumpulkannya dalam satu juz tersendiri, namun dengan masalah yang beragam. Memang dalam setiap masalah tersebut, haditsnya tidak mutawatir. Namun bila dikumpulkan, maka menjadi mutawatir”. (2/180).

Di dalam kitab Shahih-nya, Imam Bukhari rahimahullah membuat bab tentang mengangkat tangan dalam berdo'a. Dia membawakan beberapa hadits, yaitu dari Abu Musa Al Asy'ari, dia berkata :

دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثمُ َّرَفَعَ يَدَيْهِ وَرَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a, kemudian mengangkat kedua tangannya, sehingga aku melihat putih kedua ketiak Beliau. [1].

Hadits Ibnu Umar, dia berkata:

رَفَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ وَقَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خَالِدٌ

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya lantas berdo'a, ”Wahai, Allah. Aku berlepas diri kepadaMu dari apa yang diperbuat Khalid (bin Walid).” [2]

Hadits Anas bin Malik, dari Nabi:

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ

Bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya, sehingga aku melihat putih kedua ketiaknya. [3]. .

Di dalam Syarah Bukhari (Fatthul Bari), Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengisyaratkan, bahwa hadits yang semakna dengan hadits-hadits ini banyak sekali. Lalu ia menyebutkan sebagiannya, diantaranya tentang hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:

قَدِمَ الطُفَيْلُ بْنُ عَمْرٍو الدَّوْسِي النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّ دَوْسًا عَصَتْ فَادْعُ اللهَ عَلَيْهَا فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ اهْدِ دَوْسًا

Thufail bin 'Amr Ad Dausi mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata,”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya kabilah Daus telah durhaka. Berdo'alah kepada Allah agar melaknat mereka,” maka Beliau menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya, ”Wahai, Allah. Berilah petunjuk kepada kabilah Daus.” (Hadits ini dikeluarkan Imam Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad, dan termaktub pula dalam Shahihain tanpa kalimat "mengangkat kedua tangannya".[4].

Hadits Jabir bin Abdillah, bahwa Thuafil bin 'Amr, hijrah lalu mengisahkan laki-laki yang berhijrah bersamanya disebutkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: ”Wahai, Allah. Karena perbuatan kedua tangannya, maka ampunilah dia,” lalu beliau mengangkat kedua tangannya. Al Hafizh berkata: ”Sanadnya shahih.” Dikeluarkan juga oleh Muslim.[5]

Hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a sambil mengangkat kedua tangannya: “Wahai, Allah. Aku hanyalah manusia biasa …”.[6] Al Hafizh berkata,”Sanadnya shahih.”

Selanjutnya, Al Hafizh berkata,”Diantara hadits-hadits shahih dalam masalah ini, yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam kitab Juz Rof'ul Yadain: “Aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya mendo'akan Utsman”[7]. Dikeluarkan pula oleh Muslim dari hadits Abdurrahman bin Samurah dalam kisah gerhana: “Aku (Abdurrahman) sampai kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan Beliau berdo'a sambil mengangkat kedua tangannya.”[8]

Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dalam kisah gerhana, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya.[9] Dari ‘Aisyah pula, ketika Rasulullah mendo'akan para sahabat yang dikubur di Baqi, ”Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya tiga kali.”[10]

Dari hadits Abu Hurairah yang panjang dalam peristiwa fathu Makkah disebutkan,”Beliau mengangkat kedua tangannya, kemudian mulai berdo'a.”[11]

Hadits Abu Humaid dalam kisah Ibnu Lubtiyyah,”Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lantas mengangkat kedua tangannya sampai kulihat putih kedua ketiaknya, Beliau berucap,’Wahai, Allah. Bukankah aku telah menyampaikan (risalah Mu)’.”[12]

Hadits Abdullah bin Amr: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan ucapan Nabi Ibrahim dan Nabi Isa, lantas mengangkat kedua tangannya, (sembari) berucap: ‘Wahai, Allah. Umatku’.” [13]

Dalam hadits Umar Radhiyallahu anhu, disebutkan bahwa “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika turun wahyu kepadanya akan terdengar dari dekat wajah Beliau seperti suara dengungan tawon. Suatu hari wahyu turun kepada Beliau, kemudian rasa berat menerima wahyu tersebut lenyap dari Beliau, lantas (Beliau) menghadap kiblat dan berdo'a”. [14]

Hadits Usamah, ia berkata: ”Aku membonceng Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di Arafah, lalu (Beliau) berdo`a dengan mengangkat kedua tangannya. Untanya bergeser sehingga tali kekangnya terlepas, lalu Beliau mengambil tali kekang itu dengan satu tangan, sedangkan tangan yang lain tetap diangkat”[15].

Hadits Qois bin Sa'd, ia berkata: ”Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sllam mengangkat kedua tangannya dan berdo'a,’Wahai, Allah. Tumpahkanlah berkah dan rahmatMu kepada keluarga Sa'd bin Ubadah’.[16]”

“Dan hadits dalam masalah ini sangat banyak,” demikian kata Al Hafizh Ibnu Hajar. (Fathul Bari, 11/142). Al Hafizh telah meneliti secara mendalam hadits-hadits yang memuat do`a dengan mengangkat tangan. Diantara hadits yang shahih dalam masalah ini adalah hadits Salman Al Farisi, Nabi bersabda :

إِنَّ رَبَّكُمْ حَيِّيٌ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِي مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهَا صُفْرًا

"Sesungguhnya Robb kalian itu Maha Pemalu dan Maha Mulia, Dia merasa malu kepada hamba Nya ketika hamba mengangkat tangannya kepadanya Dia mengembalikannya dalam keadaan kosong (tidak dikabulkan)".[17]

Hadits-hadits ini beserta maknanya, menunjukkan bahwa mengangkat tangan ketika berdo'a, termasuk adab berdo'a kepada Allah yang sangat agung. Ini termasuk sebab-sebab dikabulkannya do'a. Sunnah Nabi juga menunjukkan, bahwa mengangkat tangan dalam berdo'a memiliki tiga cara yang berkaitan dengan isi do'a tersebut. Pertama, jika do'a tersebut berupa permintaan yang benar-benar sangat dibutuhkan, memiliki cara berdo'a tersendiri. Kedua, ketika do'a itu berisi permintaan, maka ada caranya tersendiri. Ketiga, jika do'a itu berupa permintaan ampunan, pentauhidan dan pujian, ini juga memiliki cara angkat tersendiri pula.

Ketiga cara mengangkat tangan ini dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas secara marfu' dan mauquf, yaitu : ”Jika berupa permohonan, maka angkatlah tanganmu sejajar pundak atau serupa dengan itu. Jika permohonan ampunan, hendaknya berisyarat dengan jari telunjuk saja. Jika berupa permohonan mendesak, maka angkat kedua tangan”. Pada redaksi lain (disebutkan): “Jika berupa pentauhidan, maka hendakanya berisyarat dengan jari telunjuk. Jika berupa do'a (permintaan), mengangkat tangan setinggi pundak. Dan jika berupa permohonan mendesak, hendaknya mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan-nya dan Ath Thabrani dalam kitab Do`a, dan selain keduanya.[18]

Berkenaan dengan hadits ini, Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid berkata: Telah ada beberapa hadits dari perbuatan Nabi menjelaskan kedudukan masing-masing dari tiga cara berdo'a ini. Cara do'a ini bukan ikhtilaf tanawu’ (perbedaan cara yang masing-masing boleh dilakukan karena tidak saling bertentangan, Pen). Penjelasaannya sebagai berikut.

Pertama : Do'a Umum.
Dinamakan do'a permohonan, dan juga disebut do'a. Yaitu dengan mengangkat kedua tangan setinggi pundak, atau sejajar dengannya. Kedua telapak tangan dirapatkan. Bagian dalam telapak tangan dibentangkan ke arah langit, dan punggung telapak tangan ke arah tanah. Jika ingin, boleh juga menghadapkan kedua tangan ke arah wajah, sedangkan punggung telapak tangan diarahkan ke kiblat. Inilah cara umum mengangkat tangan ketika berdo'a secara mutlak; baik dalam do'a qunut, witir, meminta hujan atau pada enam tempat ketika haji, yaitu di Arafah, Masy`ar Haram, usai melempar Jumrah Sughra dan Wustha, ketika di atas bukit Shofa dan Marwah, dan waktu-waktu lain.

Kedua : Do'a Memohon Ampunan.
Disebut pula do`a ikhlas, yaitu dengan mengangkat jari telunjuk tangan kanan. Cara ini khusus ketika dzikir, do'a dalam khutbah di atas mimbar, ketika tasyahud dalam shalat, ketika berdzikir, memuji dan membaca la ilaha illallah di luar shalat.

Ketiga : Do'a Ibtihal.
Yaitu merendahkan diri kepada Allah dan permohonan yang sangat. Disebut juga sebagai do'a rahb (permohonan). Caranya dengan mengangkat kedua tangan ke arah langit sampai terlihat ketiaknya. Digambarkan sampai kedua lengan atas terlihat karena mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi. Cara ini lebih khusus dibandingkan dengan dua cara di muka. Cara ini juga dikhususukan ketika keadaan susah, permohonan yang sangat –misalnya- ketika kekeringan, adanya musibah, dikuasai oleh musuh dan keadaan susah lainnya.[19]

CARA MENGANGKAT TANGAN
Disebutkan dalam hadits Anas bin Malik, Beliau berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِي الاِسْتِسْقَاءِ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah berdo’a dengan mengangkat tangan, kecuali dalam isitisqa` (meminta hujan).[20]

Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama berpendapat bahwa mengangkat tangan ketika berdo'a tidak disyari`atkan, kecuali hanya dalam do'a istisqa', do'a selainnya tidak disyari'atkan angkat tangan. Tetapi hadits ini bertentangan dengan banyak hadits yang menunjukkan disyari`atkannya mengangkat tangan selain isitisqa'. Oleh karena itu, Syaikhul Islam berkata,”Yang benar adalah mengangkat tangan secara mutlak. Cara ini telah disebutkan secara mutawatir dalam hadits-hadits yang shahih, seperti: Thufail Ad Dausi mendatangi Nabi, lalu berkata,’Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya kabilah Daus telah durhaka, laknatlah mereka.’ Maka Beliau menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya, ’Wahai, Allah. Berilah petunjuk kepada kabilah Daus, dan datangkan mereka kepadaku’.”[21]

Dimuat dalam Shahih, ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendo'akan Abu `Amir, Beliau mengangkat kedua tangannya.[22] Disebutkan dalam hadits 'Aisyah: ”Ketika mendo'akan sahabat yang dikuburkan di Baqi`, Beliau mengangkat kedua tangannya tiga kali”. [Diriwayatkan Muslim].[23]

Dalam hadits tersebut dikatakan, Beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdo'a, ”Umatku, umatku,” di akhir hadits: ”Allah berfirman (artinya), Aku akan menjadikan umatmu ridha kepadamu dan Kami tidak akan membuat kamu sedih”.[24]

Pada perang Badr, ketika melihat orang-orang musyrik, Beliau Shallallahi 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya dan mulai memohon kepada Rabb-nya. Beliau terus-menerus memohon, sampai-sampai selendangnya terjatuh dari pundak[25].

Dalam hadits Qois bin Sa'd dituturkan: Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya, lantas berdo'a,

الَّلهُمَّ اجْعَلْ صَلاَتَكَ وَرَحْمَتَكَ عَلَى آلِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ

Wahai, Allah. Berikan berkah dan rahmatMu kepada keluarga Sa'd bin Ubadah.[26]

Ketika mengirimkan pasukan, dan Ali ikut serta, Beliau berdo'a,”Wahai, Allah. Jangan matikan aku hingga aku melihat Ali.”[27] Di dalam hadits qunut, Beliau juga mengangkat kedua tangannya [28].

Syaikhul Islam lantas menyebutkan hadits Anas di muka, bahwa Nabi tidak pernah berdo'a dengan mengangkat tangan selain di dalam shalat istisqa, kemudian berkata:

Pengkompromian antara hadits Anas ini dengan banyak hadits, (telah) diutarakan oleh sebagian ulama, bahwa Anas menyebutkan angkat tangan tinggi-tinggi sehingga ketiak Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terlihat dan badan Beliau membungkuk. Cara inilah, yang oleh Ibnu Abbas dinamakan ibtihal (permohonan yang sangat). Ibnu Abbas merinci cara berdo'a ini menjadi tiga macam. Pertama, isyarat dengan telunjuk, seperti yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika khutbah di atas mimbar. Kedua, do'a permohonan. Dengan mengangkat kedua tangan sejajar pundak. Demikian ini termuat dalam banyak hadits. Ketiga, ibtihal. Yaitu seperti yang dituturkan Anas. Oleh karena itu Anas berkata,”Beliau mengangkat kedua tangannya sehingga nampak ketiaknya.” [29] Cara do'a ini dengan mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, menghadapkan bagian dalam telapak tangan mengarah ke wajah dan tanah, sedangkan punggung tangan mengarah ke langit. Penafsiran ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Kitab Marasilnya, dari hadits Abu Ayub Sulaiman bin Musa Ad Dimasqi rahimahullah, dia berkata,”Tidak tercatat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bila Beliau mengangkat kedua tangan, kecuali pada tiga keadaan saja. (Yaitu) ketika meminta hujan (istisqa'), meminta pertolongan, sore hari di Arafah. Selain (dari waktu-waktu) itu, kadang kala mengangkat tangan, kadang kala tidak”[30]. Mungkin yang dimaksud oleh Anas adalah ketika Beliau berkhutbah pada hari Jum`at, seperti disebutkan di dalam Muslim dan selainnya: ”Beliau tidak mengangkat tangan, kecuali jari telunjuk”[31]. Dalam masalah ini didapati dua pendapat dalam madzhab Imam Ahmad. Pertama, disunnahkan. Ini pendapat Ibnu Aqil. Kedua, tidak disunnahkan, bahkan makruh. Pendapat ini lebih benar. [32] Demikian keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, penyelarasan antara hadits Anas dengan hadits-hadits lainnya yang menetapkan adanya mengangkat tangan beserta maknanya. Bahwa yang dinafikan adalah cara mengangkat tangan yang khusus, bukan cara mengangkat tangan itu sendiri. Sebab, mengangkat tangan ketika do'a istisqa, berbeda dengan do'a selainnya, seperti tangan diangkat tinggi sejajar wajah. Dan ketika do'a permintaan (cara kedua, pen.), yaitu (dengan cara) tangan diangkat sejajar pundak. Komproni ini jangan dipertentangkan dengan kedua hadits tersebut, bahwa Beliau mengangkat tangan sehingga terlihat putih ketiaknya. Namun bisa dikompromikan, bahwa terlihatnya putih ketiak Beliau ketika do`a istisqa itu menandakan, bila mengangkat tangan ketika istisqa lebih tinggi ketimbang mengangkat tangan ketika berdo'a pada selainnya. Hal ini dikarenakan ketika istisqa, kedua telapak tangan mengarah ke tanah, dan ketika berdo'a dihadapkan ke langit. Al Mundziri berkata: ”Misalkan kompromi ini tidak mungkin dilakukan, namun adanya mengangkat tangan dalam do'a ini lebih rajih (kuat)”. Saya (Ibnu Hajar), mengatakan: ”Apalagi hadits yang menetapkan adanya mengangkat tangan ini sangat banyak”. [Fathul Bari, 11/142]

Dari uraian di muka, jelaslah bahwa mengangkat tangan dalam berdo'a disyari`atkan, baik dalam istisqa, atau selainnya. Bahkan mengangkat tangan termasuk sebab-sebab terkabulnya do'a, sebagaimana disebutkan dalam hadits “Sesungguhnya Rabb kalian itu Maha Pemalu dan Maha Mulia. Dia merasa malu kepada hambaNya, ketika hamba mengangkat tangannya kepadaNya, Dia mengembalikannya dalam keadaan kosong (tidak dikabulkan).

Hanya saja, mengangkat tangan ketika istisqa itu lebih tinggi, karena dalam keadaan susah dan merupakan permohonan yang sangat. Adapun mengangkat tangan pada do'a selainnya, hanya setinggi pundak atau sejajar dengannya, sebagaimana pengamalan dari hadits-hadits yang telah disebutkan di awal.

Disebutkan dalam hadits Anas bin Malik yang lain: ”Bahwa Nabi melakukan do'a istisqa dan mengarahkan punggung telapak tangannya ke langit”[33]. Dalam hadits ini terdapat isyarat adanya mengangkat tangan tinggi-tinggi ketika paceklik dan ketika istisqa. Karena itu, Syaikhul Islam berkata: ”Hal itu dikarenakan tangan diangkat tinggi-tinggi, maka bagian dalam telapak tangannya mengarah ke bumi; bukannya di sengaja, sebab ada riwayat yang menginformasikan bahwa Beliau mengangkat kedua tangannya sejajar wajah”.

Syaikh Ibnu Utsamin rahimahullah berkata: Mengangkat tangan dalam berdo`a ada tiga macam.

Pertama : Jika ada dalil untuk mengangkat tangan, maka disunnahkan mengangkat tangan, seperti (halnya) do'a istisqa, do'a di Shafa dan Marwah, di Arafah.

Kedua : Ada dalil, namun tidak menunjukkan (adanya) mengangkat tangan, (maka tidak disyari'atkan mengangkat tangan, pen), seperti do'a di dalam sholat, tasyahud akhir.

Ketiga : Tidak ada dalil yang menerangkan mengangkat tangan, atau tidak mengangkat tangan, maka pada asalnya, hendaknya mengangkat tangan; sebab (hal) itu termasuk adab berdo'a.[34]

Selain itu, mengangkat tangan ketika berdo'a mengandung sikap ketundukkan, merendahkan diri, kepasrahan, ketenangan serta penampakan sikap membutuhkan dan memerlukan kepada Rabb Yang Maha Mulia. Semua ini menjadi sebab terkabulnya do'a.

As Safarini rahimahullah berkata : Ulama mengatakan, disyari’atkannya mengangkat tangan ketika berdo'a hanyalah untuk menambah sikap ketundukkan. Maka terkumpullah pada diri manusia suasana tunduk kala beribadah. Selain itu, seringkali seorang hamba tidak kuasa untuk menggugah hatinya dari kelalaian, sedangkan dia memiliki kekuatan untuk menggerakkan tangan dan lisan. (Maka mengangkat tangan itu), menjadi sarana menuju kekhusyu`an hati. Ulama mengatakan, gerakan anggota badan menyebabkan kebahagiaan batin. Kondisi ini sebagaimana mengangkat telunjuk ketika tasyahud dalam shalat. Dia mengumpulkan hati, lisannya menerjemahkan dan gerakan badan mensucikannya.[35]

KESALAHAN MENGANGKAT TANGAN DALAM BERDO'A
Wajib bagi setiap muslim untuk bersemangat mengetahui petunjuk Nabi, mengikuti langkahnya, menapaki manhajnya dan menjauhi cara-cara baru yang dilakukan manusia dalam mengangkat tangan dan gerakan tangan ketika berdo'a, yaitu cara-cara yang tidak berasal dari generasi terbaik dan manusia paling sempurna do'a dan ketaatannya kepada Allah dan RasulNya. Telah shahih datang dari Nabi, bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا سَأَلْتمُ ُاللهَ فَاسْأَلُوْهُ بِبُطُوْنِ أَكُفِّكُمْ وَلاَ تَسْأَلُوْهُ بِظُهُوْرِهَا

Jika kalian memohon kepada Allah, maka mintalah dengan menghadapkan telapak tangan bagian dalam kepadaNya, jangan menghadapkan punggung telapak tangan.[36]

Maka wajib bagi setiap muslim untuk memperhatikan hadits-hadits Nabi yang shahih dan komitmen dengannya. Sebab, petunjuk Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan petunjuk terbaik. Hindarilah sikap berlebih-lebihan dalam mengangkat tangan ketika berdoa. Para salaf sangat menghindari menempatkan cara-cara do'a tidak pada tempatnya; seperti mengangkat kedua tangan ketika khutbah pada hari Jum'at, padahal bukan do'a istisqa. Mengangkat kedua tangan dalam berdo'a disyari'atkan pada waktu lainnya.

Muslim meriwayatkan dari 'Umarah bin Ru'aibah, dia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat kedua tangannya ketika di atas mimbar. Maka 'Umarah berkata: ”Semoga Allah menjelekkan kedua tangan itu. Sungguh aku pernah melihat Rasulullah tidak lebih dari sekedar mengangkat tangannya begini,” lalu ia mengisyaratkan dengan jari telunjuk”[37].

Lalu bagaimanakah jadinya dengan orang yang membuat cara baru dalam mengangkat tangan, atau gerakan yang tidak ada dasarnya? Siapa saja yang mencermati keadaan orang-orang yang berdo'a, niscaya akan melihat cara mereka yang aneh-aneh [38].

Diantara keanehan itu, ada sebagian orang yang menurunkan tangannya di bawah pusar atau sejajar pusar, dengan direnggangkan atau dirapatkan. Jelas, ini merupakan bukti dari ketidakpedulian dan sedikitnya perhatian terhadap masalah ini. Sebagian lain mengangkat tangan dengan direnggangkan. Ujung jari-jari mengarah kiblat, tapi kedua ibu jari mengarah ke langit. Ini jelas menyelisihi petunjuk Nabi pada hadits di muka: Jika kalian memohon kepada Allah, maka mintalah dengan menghadapkan telapak tangan bagian dalam kepadaNya. Yang lain, mengangkat kedua tangannya dengan membalikkannya ke berbagai arah, atau berdiri dengan menggerakkannya dengan gerakan yang bermacam-macam. Sementara yang lain, jika berdo'a atau sebelum berdo'a mengusapkan satu tangan ke tangan yang lain, atau mengibaskan tangannya atau gerakan serupa lainnya. Lainnya lagi, usai mengangkat tangan lantas menciumnya; yang demikian ini tidak ada asalnya.

Kesalahan lain, usai berdo'a mengusapkan kedua tangan ke wajahnya. Sifat ini memang terdapat dalam sebagian hadits, hanya saja tidak shahih. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Banyak sekali hadits shahih yang menginformasikan bahwa Nabi mengangkat tangan ketika berdo'a. Namun mengusap wajah usai berdo'a tidak diriwayatkan dari Beliau, kecuali hanya ada satu atau dua hadits, tetapi tidak bisa dijadikan hujjah”[39]. Cara baru lainnya, yaitu mencium dua ibu jari, lantas diletakkan pada dua mata ketika muadzin menyebut nama Nabi atau di waktu lain. Cara ini memang terdapat dalam hadits, namun batil, tidak sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , dengan redaksi ”Barangsiapa ketika mendengar adzan mengucapkan ‘Selamat datang, wahai kecintaanku dan penyejuk kedua mataku, Muhammad bin Abdillah,’ lantas, mencium ibu jarinya, lalu meletakkannya pada matanya, maka mata itu selamanya tidak akan buta dan tidak sakit”. Banyak ulama yang menyatakan hadits ini batil, tidak sah berasal dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam [40].

Dan termasuk khayalan orang-orang sufi, sebagian mereka menyandarkan ucapan hadits batil ini kepada Khidhir Alaihissallam [41]. Termasuk bid'ah pula, yaitu sebagian orang merapatkan jari-jari tangan kanannya, lantas diletakkan pada mata kanannya dan tangan kirinya pada mata kiri dengan diiringi bacaan (Al Qur'an, pen) atau do'a.

Cara lain lagi yang tidak shahih, sebagian orang berdo'a dengan meletakkan tangan di kepala usai salam. Sandaran mereka ialah hadits Anas, dia berkata: ”Adalah Nabi, usai menunaikan shalat Beliau mengusap jidatnya dengan tangan kanan, lalu berdo'a :

بِسْمِ اللهِ الَّذِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ اللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنِّي الْغَمَّ وَالْحَزَنَ

Dengan menyebut nama Allah yang tiada ilah yang berhak disembah, kecuali Dia, Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ya, Allah. Hilangkan kegundahan dan kesedihanku”. [Diriwayatkan Thabrani di kitab Al Ausath dan Al Bazzar, namun tidak shahih] .[42]

Kesalahan dalam berdo'a, sebagian orang yang shalat kadang-kadang mengisyaratkan kedua jari telunjuknya ketika tasyahud. Diriwayatkan dalam hadits shahih:

أَنَّ النَّبِيَّ مَرَّ عَلَى إِنْسَانٍ يَدْعُوْ وَهُوَ يُشِسْرُ بأُصْبُعَيْهِ السَّبَابَتَيْنِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحِّدْ أَحِّدْ

Nabi melewati seseorang yang berdo'a, dia berisyarat dengan kedua jari telunjuknya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,”Satu saja, satu saja!” [Diriwayatkan Tirmidzi] [43].

Penyimpangan lain, sebagian orang berdo'a mengangkat tangan pada waktu tertentu tanpa didasari dalil syar'i, seperti mengangkat tangan setelah iqomat untuk shalat, (yang dilakukan) sebelum takbiratul ihram atau setelah salam dari shalat wajib secara bersama-sama atau sendiri-sendiri.

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahulah berkata: ”Sejauh pengetahuan saya, hadits yang menyebutkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a dengan mengangkat tangan usai shalat wajib, tidaklah shahih; tidak shahih pula dari para sahabat Nabi. Adapun yang dilakukan sebagian orang itu adalah bid'ah, tidak ada dasarnya”[44]. Kesalahan lain, yaitu mengangkat tangan dalam berdo'a usai sujud tilawah, ketika melihat bulan dan waktu lainnya.

Kesimpulannya, waktu-waktu yang ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup, namun beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengangkat tangan dalam berdo'a ketika itu, maka tidak dibolehkan untuk mengangkat tangan. Sebab, perbuatan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sunnah, amalan yang ditinggalkan juga sunnah (untuk ditinggalkan). Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah tauladan yang baik dalam amalan yang akan datang dan yang telah lalu. Wajib mendasarkan amalan kepada apa-apa yang dibawa Nabi, dan meninggalkan yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tinggalkan.

(Dinukil dari Fiqhul Ad`iyyah Wal Adzkar, Syaikh Dr. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin Al Abbad, 2/172-197, oleh Abu Nu`aim Al Atsari)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Bukhari 7/198, secara mua'laq.
[2]. Bukhari 7/198, secara mua'laq.
[3]. Bukhari, no. 6.341.
[4]. Adabul Mufrad, no. 611. Lihat Shahih Bukhari, no. 2.937.
[5]. Adabul Mufrad, no. 614; Muslim, no. 116 tanpa kalimat "mengangkat kedua tangan".
[6]. Adabul Mufrad, no. 613.
[7]. Adabul Mufrad, no. 157.
[8]. Adabul Mufrad, no. 913.
[9]. Muslim, 901.
[10]. Muslim, 974.
[11]. Muslim, 1.780.
[12]. Bukhari, 2.597; Muslim, 1.832.
[13]. Muslim, 202.
[14]. Tirmidzi, 3.173 dan ini lafadznya; Nasa`i dalam Sunan Kubra, 1.439; Al Hakim dalam Mustadrak, 2/392. Nasa'i berkata,”Ini hadits mungkar. Aku tidak mengetahui ada yang meriwayatkannya selain Yunus bin Sulaim. Dan Yunus ini, aku tidak mengetahui siapa dia. Allahu a'lam.”
[15]. Nasa'i dalam Sunan Kubra, 4.007 dan Sughra, 5/254 dengan sanad jayyid.
[16]. Abu Dawud, 5.185, dengan sanad jayyid. Al Albani menyebutkannya dalam Dha'if Sunan Abu Dawud, no. 1.111.
[17]. Abu Dawud, 1.488; Tirmidzi, 3.556, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Jami', no. 1.753.
[18]. Abu Dawud, 1.489, 1.490; At Thabrani, 208. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1.321, 1.322, 1.324, baik secara mauquf ataupun marfu`.
[19]. Tashihud Du'a, hlm. 116-117.
[20]. Shahih Bukhari, no. 1.031; Muslim, 895.
[21]. Adabul Mufrad, no. 611. Disebutkan pula dalam Shahih Bukhari, 2.937 tanpa kalimat "mengangkat kedua tangan".
[22]. Bukhari, no. 4.323; Muslim, 2.498.
[23]. Muslim, no. 974.
[24]. Muslim, no. 202.
[25]. Muslim, no. 1.763.
[26]. Abu Dawud, no. 5.185. Al Albani menyebutkannya dalam Dha'if Sunan Abu Dawud, no. 1.111.
[27]. Tirmidzi, 3.737. Al Albani menyebutkan dalam Dha'if Sunan Tirmidzi, no. 781.
[28]. Musnad, 3/137; Baihaqi dalam Sunan Kubra, 2/211 dari Anas bin Malik.
[29]. Bukhari, no. 1.030 dan 1.031.
[30]. Al Marasil, no. 148.
[31]. Lihat Muslim, no. 874.
[32]. Lihat Syarah Tsulatsiyat Musnad, oleh As Safarini 1/653-654.
[33]. Muslim, no. 896.
[34]. Liqo', Bab Maftuh, hlm. 17-18, secara ringkas.
[35]. Lihat Syarah Tsulatsiyat Musnad, 1/655-656.
[36]. Abu Dawud, no. 1486. Dishahihkan Al Albani di dalam Shahihah, no. 595.
[37]. Muslim, 874.
[38]. Lihat Tashihud Du'a, Syaikh Bakr Abu Zaid, hlm. 126-129.
[49]. Fatawa, 22/519. Lihat Bab Mengusap Wajah Usai Berdo'a, karya Syaikh Bakr Abu Zaid.
[40]. Lihat Al Fawa'id Al Majmu'ah Fil Ahaditsil Maudhu'ah, hlm. 20.
[41]. Lihat Lasyful Khafa, oleh Al Ajluni, 2/270.
[42]. Mu'jam Ausath, no. 2.499.
[43]. Tirmidzi, no. 3.557. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi no. 282.
[44]. Majmu Fatawa, 11/184.

Bacaan Dalam Duduk Tasyahud

Bacaan Dalam Duduk Tasyahud
Dari Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu anhu- dia berkata:
كُنَّا نَقُولُ فِي الصَّلَاةِ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّلَامُ عَلَى اللَّهِ السَّلَامُ عَلَى فُلَانٍ فَقَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِنَّ اللَّهَ هُوَ السَّلَامُ فَإِذَا قَعَدَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَلْيَقُلْ التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ فَإِذَا قَالَهَا أَصَابَتْ كُلَّ عَبْدٍ لِلَّهِ صَالِحٍ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنْ الْمَسْأَلَةِ مَا شَاءَ
“Kami dahulu mengucapkan dalam shalat di belakang Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, “Semoga keselamatan atas Allah, semoga keselamatan atas fulan.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada kami pada suatu hari, “Sesungguhnya Allah Dialah As-Salam, karenanya apabila salah seorang dari kalian duduk dalam shalatnya maka ucapkanlah, “ATTAYHIYATU LILLAHI WASHSHALAWATU WATHTHAYIBAT. ASSALAMU ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WARAHMATULLAHI WABARAKATUH. ASSALAMU ALAINANAA WA ALA ‘IBADILLAHISH SHALIHIN (Segala penghormatan bagi Allah, shalawat dan juga kebaikan. Semoga keselamatan terlimpahkan kepadamu wahai Nabi dan juga rahmat dan berkahnya. Semoga keselamatan terlimpahkan atas kami dan hamba Allah yang shalih) -Apabila dia mengucapkannya maka doa itu akan mengenai setiap hamba saleh di langit dan bumu- ASYHADU ALLA ILAAHA ILLALLLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN 'ABDUHU WA RASULUHU (Saya bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah).” Kemudian dia memilih permintaan doa yang dia kehendaki.” (HR. Al-Bukhari no. 835 dan Muslim no. 402)
Dalam riwayat Abu Daud no. 968, “Kami dahulu mengucapkan ketika kami duduk (tasyahud) di belakang Rasulullah.”
Dari Ka’ab bin Ujrah -radhiallahu anhu- dia berkata:
خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا قَدْ عَرَفْنَا كَيْفَ نُسَلِّمُ عَلَيْكَ فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ قَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar melewati kami, maka kami berkata, “Sungguh kami telah mengetahui bagaimana mengucapkan salam kepada anda. Hanya saja bagaimana  cara bershalawat kepada anda?” Beliau bersabda, “Kalian katakanlah: ALLOOHUMMA SHOLLI ‘ALAA MUHAMMAD WA’ALAA AALI MUHAMMAD, KAMAA SHOLLAITA ‘ALAA AALI IBROOHIIMA INNAKA HAMIIDUN MAJIID, ALLOOHUMMA BAARIK ‘ALAA MUHAMMADIN WA’ALAA AALI MUHAMMADIN KAMAA BAAROKTA ‘ALAA AALI IBROOHIIMA INNAKA HAMIIDUN MAJIID (Ya Allah, berilah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberi shalawat atas keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, berilah berkah atas Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberi berkah kepada keluarga Ibrahim. Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia).” (HR. Muslim no. 406)
Dari Abu Hurairah  dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
“Jika salah seorang di antara kalian (duduk) tasyahud, maka hendaklah dia meminta perlindungan kepada Allah dari empat perkara. Yaitu dia berdoa: “ALLAHUMMA INNI A’UUDZUBIKA MIN ‘ADZAABI JAHANNAMA, WAMIN ‘ADZAABIL QABRI, WAMIN FITNATIL MAHYAA WAL MAMAATi, WAMIN SYARRI FITNATIL MASIIHID DAJJAL (Ya Allah, saya berlindung kepada-Mu dari siksa jahannam dan siksa kubur, dan fitnah kehidupan dan kematian, serta keburukan fitnah Masih Dajjal).” (HR. Muslim no. 588)
Al-Hafizh berkata dalam Bulugh Al-Maram no. 337, “Dalam sebuah riwayat Muslim, “Jika salah seorang dari kalian selesai dari tasyahud akhir.”
Penjelasan ringkas:
Dalam duduk tasyahud, ada 4 bacaan yang disyariatkan untuk dibaca di dalamnya:
1.    Tahiyat, yaitu dari kalimat ‘ATTAHIYATU’ sampai bacaan dua kalimat syahadat. Ada beberapa lafazh tahiyat yang disebutkan dalam hadits yang shahih, salah satunya seperti yang tersebut dalam hadits Ibnu Mas’ud di atas. Lihat lafazh lainnya dalam kitab Sifat Shalat Nabi karya Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah. Dan hukum membaca tahiyat ini adalah wajib shalat, berdasarkan perintah dalam hadits di atas.
2.    Shalawat kepada Nabi . Hukum membacanya adalah wajib shalat -menurut pendapat yang paling kuat di kalangan ulama-, berdasarkan perintah dalam hadits Ka’ab bin Ujrah di atas. Lafazhnya pun ada beberapa, silakan lihat yang lainnya dalam kitab Sifat Shalat Nabi karya Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.
3.    Berdoa untuk berlindung dari 4 perkara yang tersebut dalam hadits Abu Hurairah di atas. Hukum membacanya adalah wajib berdasarkan perintah dalam hadits di atas. Dia wajib dibawa baik dalam shalat wajib maupun shalat sunnah, karenanya jika seseorang meninggalkannya karena lupa maka dia digantikan dengan sujud sahwi.
4.    Setelah membaca ketiga bacaan di atas, maka sebelum salam dia disyariatkan untuk berdoa dengan doa apa saja yang dia inginkan. Ini berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud di atas. Hanya saja lebih utama -bahkan Imam Ahmad mewajibkan- jika dia hanya memilih doa yang diajarkan oleh Nabi -alaihishshalatu wassalam-. Silakan lihat doa-doa yang Nabi -alaihishshalatu wassalam- ajarkan di sini dalam kitab Sifat Shalat Nabi karya Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.
Sebagai kelanjutan artikel sebelumnya, perbedaan yang keempat antara tasyahud awal dan tasyahud akhir (lihat 3 perbedaan lainnya pada artikel sebelumnya ‘Duduk Tasyahud’) adalah: Pada tasyahud awal hanya disyariatkan membaca tahiyat sementara pada tasyahud akhir disyariatkan membaca tahiyat dan shalawat kepada Nabi . Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah dan selainnya. Bahkan pada tasyahud terakhir setelah shalawat, wajib untuk berdoa berlindung dari empat perkara dan disyariatkan juga untuk berdoa sebelum salam.

Kamis, 01 November 2012

AL-QUR'AN dan Terjamahan tanda baca juga suara punya transliteration

1) Sūrat Al-Fātiĥah Printed format 1) سُورَة الفَاتِحَه
Bismi Allāhi Ar-Raĥmāni Ar-Raĥīmi Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. 1:1) بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Al-Ĥamdu Lillāhi Rabbi Al-`Ālamīna Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, (QS. 1:2) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Ar-Raĥmāni Ar-Raĥīmi Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. 1:3) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Māliki Yawmi Ad-Dīni Yang menguasai hari pembalasan. (QS. 1:4) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
'Īyāka Na`budu Wa 'Īyāka Nasta`īnu Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (QS. 1:5) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Ahdinā Aş-Şirāţa Al-Mustaqīma Tunjukilah kami jalan yang lurus, (QS. 1:6) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Şirāţa Al-Ladhīna 'An`amta `Alayhim Ghayri Al-Maghđūbi `Alayhim Wa Lā Ađ-Đāllīna (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni'mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. 1:7) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ

AL-HIKAM punya sufinasirin@lycos-1

BERSAMA MEMURNIKAN AKIDAH & AKHLAK MUSLIM
SYARAH AL-HIKAM Bahagian Pertama
Kata Pengantar Pendahuluan
1: Perbuatan zahir dan suasana hati 2: Ahli asbab dan ahli tajrid
3: Benteng takdir 4: Allah swt mengatur segala urusan
5: Matahati yang buta 6: Pengertian doa
7: Pengertian janji Allah swt 8: Jalan memperolehi makrifat
9: Ahwal menentukan amal 10: Ikhlas roh ibadat
11: Tiada kesempurnaan tanpa ikhlas 12: Uzlah pintu tafakur
13: Hijab yang halang perjalanan 14: Allah yang menzahirkan alam
15-24: Allah dan makhluk 25: Sikap orang bodoh
26: Menunda amal tanda kebodohan 27: Berpegang kepada makam

AL-HIKAM punya sufinasirin@lycos-2

BERSAMA MEMURNIKAN AKIDAH DAN AKHLAK MUSLIM
SYARAH AL-HIKAM Bahagian Dua (28-86)
28: Pembimbing Jalan Hakiki 29: Permintaan dan kedudukan
30: Qadar yang lebih halus 31:  Peluang mendekati  Allah s.w.t
32: Sifat kehidupan duniawi 33: Sandarkan niat kepada Allah s.w.t
34 & 35: Permulaan dan kesudahan 36: Batiniah mempengaruhi lahiriah
37: Pandangan hati dan akal 38: Sebarkan kebaikan mengikut kemampuan
39: Nur-nur kurniaan Allah s.w.t 40: Hijab menutupi diri dan alam ghaib
41: Diri yang terhijab, Allah s.w.t tidak 42: Sifat yang menyalahi ubudiyah
43 & 44: Reda atau tidak kepada nafsu punca maksiat atau taat 45: Makrifat hati terhadap Allah s.w.t
46: Allah maha esa, sedia dan kekal 47: Al-Karim, tumpuan segala hajat dan harapan
48:  Hajat dari Allah, hanya Dia dapat melaksanakannya  49: Baik sangka terhadap Allah s.w.t 
50: Kesan daripada buta mata hati  51: Keluar daripada alam kepada Pencipta alam
52: Sucikan maksud dan tujuan  53 & 54:  Waspada memilih sahabat 
55: Zahid dan raghib  56: Amal, ahwal dan makam 
57: Peranan zikir  58: Tanda matinya hati 
59 & 60: Dosa dan baik sangka  61: Amal yang bernilai pada sisi Allah s.w.t
62 - 64: Wirid dan warid  65 – 67: Nur, mata hati dan hati
68 & 69: Ketaatan adalah kurniaan Allah s.w.t  70 - 72: Tamak melahirkan kehinaan 
73:  Nikmat dan bala adalah jalan mendekati Allah s.w.t  74: Syukur mengikat nikmat 
75: Kurniaan yang menjadi istidraj 76: Murid yang terpedaya
77: Jangan meremehkan wirid yang lambat mendatangkan warid  78: Kurniaan Allah s.w.t yang menetap pada hamba-Nya 
79: Warid terjadi secara tiba-tiba  80: Tanda kejahilan ahli hakikat 
81: Akhirat tempat pembalasan bagi hamba-hamba yang mukmin  82: Tanda diterima amal 
83: Kedudukan hamba di sisi Allah s.w.t  84: Nikmat lahir dan batin 
85: Sebaik-baik permintaan  86: Tipu daya terhadap orang yang tidak taat 


AL-HIKAM punya sufinasirin@lycos-3

BERSAMA MEMURNIKAN AKIDAH DAN AKHLAK MUSLIM
SYARAH AL-HIKAM Bahagian Tiga

 
 87: Orang Yang Mengenal Allah s.w.t  88: Harapan Dan Angan-angan
 89: Tujuan Orang Arifbillah  90-92: Qabadh Dan Basath
93 & 94: Hikmat Pada Pemberian Dan Penolakan 95: Alam Pada Zahirnya Dan Batinnya
96: Kemuliaan Yang kekal Abadi 97: Perjalanan Yang Hakiki
 98: Penolakan Allah s.w.t Lebih Baik Daripada Pemberian Makhluk 99-101: Amal, Taat Dan Balasan Allah s.w.t
102: Allah s.w.t Ditaati Kerana Sifat-sifat Ketuhanan-Nya 103 & 104: Pemberian dan Penolakan memperkenalkan Allah s.w.t
105 & 106: Jalan Kepada Allah s.w.t 107 & 108: Nikmat Penciptaan Dan Nikmat Susulan
109 & 110: Hamba Berhajat Kepada Tuhan 111: Uns (Jinak Hati Dengan Allah s.w.t)
112: Keizinan Meminta Tanda Akan Mendapat Kurnia 113: Orang Arif Berhajat Kepada Allah s.w.t
114: Nur Sifat Allah s.w.t Menerangi Rahsia hati 115 & 116: Takdir Adalah Ujian Allah s.w.t
117: Hawa Nafsu Dan Kesamaran jalan 118: Sifat Kewalian Ditutup Daripada Pandangan Umum
119: Perhatikan Kewajipan Bukan Permintaan 120: Zahir Bersyariat Dan Batin Beriman
121: Kekeramatan Bukan Jaminan Kesempurnaan 122: Pelihara Wirid Selama Ada hayat
123: Warid Dan Nur Ilahi 124: Sikap Orang Lalai Dan Orang Berakal
125: Abid Dan Zahid Yang Belum Mencapai Keteguhan Hati 126 & 127: Kerinduan Untuk Melihat Allah s.w.t