Waspadalah, Yahudi Sudah Punya Perwakilan di Indonesia!
“Yahudi pakai cover atau samaran. Cara yang paling ampuh adalah dengan informasi, yaitu media massa” (Munarman)
Tidak
lama setelah matinya Gus Dur (Abdurrahman Wahid) (30/12/2009) yang
dikenal gigih berupaya untuk membuka hubungan dengan Yahudi, ternyata
pihak Yahudi segera meresmikan perwakilannya di Indonesia.
Indonesia-Israel Public Affair Committee (IIPAC)(Komite Urusan Publik Indonesia-Israel) diresmikan di Indonesia pada Jumat (29/1/2010) dengan pendirinyaBenjamin Ketang. Adanya IIPAC adalah untuk memfasilitasi investor Yahudi dari seluruh dunia untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Lembaga ini diyakini akan berperan dalam Pilpres 2014 di Indonesia.
Dengan
hadirnya IIPAC di Indonesia, Israel tanpa perlu kedutaan, sesungguhnya
sudah melancarkan jalan untuk mencengkeram Indonesia. Oleh
karena itu, butuh ekstra kewaspadaan untuk menangkal siasat dan strategi
busuk Yahudi. Umat Islam hendaknya bersatu dan kembali kepada
ajaran-ajaran Islam dan syariah agar tidak mudah disusupi pemikiran yang
menyimpang.
Adanya IIPAC adalah untuk memfasilitasi investor Yahudi dari seluruh
dunia untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Komite Urusan Publik
Indonesia-Israel ini diyakini akan berperan dalam Pilpres 2014 di
Indonesia. Hal ini disampaikan Munarman (Koordinator Tim Advokasi Forum
Umat Islam) dalam Semiloka “Menyingkap Jaringan Yahudi di Indonesia”
Ahad (31/1/2010).
Munarman, yang sempat masuk bui karena kasus aksi unjuk rasa FPI dan
AKKBB beberapa tahun lalu, mengatakan, jaringan Yahudi sudah ada sejak
dulu. “Yahudi pakai cover atau samaran. Cara yang paling ampuh adalah
dengan informasi, yaitu media massa,” ungkap Munarman.
Selama ini, masyarakat sudah ditipu dengan berbagai kebohongan dan
propaganda pencucian otak oleh Illuminati, para petinggi Freemasonry.
Tak tanggung-tanggung, Munarman membeberkan tiga tokoh sejarah Indonesia
yang dipandang pahlawan oleh sebagian besar masyarakat yang ternyata
adalah anggota Freemason. Ketiga tokoh itu adalah K.H. Dewantara, M.
Yamin, dan Sultan Hamid dari Kalimantan. Hebatnya, gerakan Boedi Oetomo
yang diakui sebagai pergerakan pemuda pertama di Indonesia rupanya
digagas oleh anggota Freemasonry. Tragis.
Umat Islam hendaknya bersatu dan kembali kepada ajaran-ajaran Islam dan syariah agar tidak mudah disusupi pemikiran yang menyimpang…
Di sisi lain, Jerry D. Gray, yang juga tampil sebagai pembicara
mengungkapkan, media massa AS hampir semuanya dikuasai oleh Yahudi.
Setidaknya, ada enam media massa besar di AS yang masuk dalam jejaring
Yahudi, yakni CNN, Fox News, Washington Pos, CBS, ABC dan NBC.
Sayangnya, enam media itu mampu menggiring opini publik dan mengantarkan
kebohongan ke seluruh dunia. Jerry yang pernah menjadi Tentara Angkatan
Udara AS itu menyayangkan sikap masyarakat dunia yang masih
mengelu-elukan AS. “Paling lama, tiga tahun lagi AS bakal bangkrut.
Tidak ada sungai yang bersih di Amerika, sungainya tidak bersih, apalagi
ikannya?!” ungkap Jerry yang sudah resmi menjadi WNI itu.
Selain Jerry dan Munarman, semiloka tersebut juga menghadirkan Herry
Nurdi (mantan Pimred Sabili) dan K.H. Cholil Ridwan (Ketua MUI Pusat).
Beberapa fakta kebohongan Yahudi terungkap di semiloka yang digelar di
Masjid Baytul Karim, Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat ini antara
lain sebagai berikut.
- Gempa bumi di Aceh yang menyebabkan tsunami ternyata bukan gempa bumi biasa, melainkan seperti bom nuklir yang diledakkan di dalam laut. Hal ini terlihat dari perbedaan penentuan titik gempa. Menurut CNN, pusat gempa berkekuatan 8,9 SR itu terletak di sebelah utara Aceh, sementara menurut BMKG Indonesia, pusat gempa ada di sebelah barat Sumatra dan hanya 6,4 SR. Selain manipulasi berita itu, kapal induk AS juga ternyata sudah siap siaga di perairan Sumatra hanya selang 4 hari setelah kejadian.
- Logo burung garuda yang menjadi simbol negara dan Pancasila ternyata adalah simbol dari Dewa Horus.
- Gedung Bappenas yang terletak di Jalan Imam Bonjol ternyata bekas loji Yahudi yang konon sering digunakan sebagai tempat menyembah setan.
- Pesawat yang ditabrakkan ke gedung kembar WTC pada peristiwa 11/9 adalah pesawat milik US Force.
- Yahudi yang bermigrasi ke Amerika pertama kali juga telah meracuni penduduk asli Amerika, yaitu Indian, dengan memberikan selimut yang sudah ditempelkan virus cacar. Dengan pemberian selimut yang seolah-olah memberikan bantuan kemanusiaan itu, ternyata Yahudi menyimpan siasat licik dengan memusnahkan bangsa Indian dari Amerika.
Sudah jelas bahwa Yahudi hanya membawa kehancuran dan mempersiapkan
dunia untuk Dajjal. Dengan hadirnya IIPAC di Indonesia, Israel tanpa
perlu kedutaan, sesungguhnya sudah melancarkan jalan untuk mencengkeram
Indonesia. Oleh karena itu, butuh ekstra kewaspadaan untuk menangkal
siasat dan strategi busuk Yahudi. Umat Islam hendaknya bersatu dan
kembali kepada ajaran-ajaran Islam dan syariah agar tidak mudah disusupi
pemikiran yang menyimpang. Dengan persatuan umat dan
pemahaman yang benar, kita lihat, apakah lobi Yahudi pada 2014 akan berhasil?!
jejak Freemason Indonesia : Theosofi dan Penghinaan Terhadap Islam
pemahaman yang benar, kita lihat, apakah lobi Yahudi pada 2014 akan berhasil?!
jejak Freemason Indonesia : Theosofi dan Penghinaan Terhadap Islam
Selain
ajaran Theosofi yang merusak akidah Islam, para aktivis Theosofi di
Indonesia pada masa lalu banyak terlibat dalam berbagai aksi pelecehan
terhadap ajaran Islam. Ironisnya, mereka adalah orang-orang yang disebut
dalam buku-buku sejarah sebagai tokoh-tokoh nasional.
Dalam buku “Sejarah Indonesia Modern”, sejarawan MC Ricklef menyatakan,Theosofi di Indonesia pada masa lalu banyak terlibat dalam berbagai aksi pelecehan terhadap Islam.
Bukan hanya ajarannya yang banyak berseberangan dengan akidah Islam
sebagaimana banyak dipaparkan oleh penulis pada tulisan beberapa edisi
lalu, namun juga para aktivis Theosofi yang merupakan elit-elit nasional
pada masa lalu, juga banyak melakukan pelecehan terhadap Islam. Para
aktivis Theosofi yang umumnya elit Jawa penganut kebatinan, menganggap
Islam sebagai agama impor yang tidak sesuai dengan kebudayaan dan jati
diri bangsa Jawa.
A.D El Marzededeq, peneliti jaringan Freemason di Indonesia dan penulis buku“Freemasonry Yahudi Melanda Dunia Islam” menyatakan
tentang gambaran elit Jawa dalam kelompok Theosofi dan Freemasonry pada
masa lalu. Marzededeq menulis, “Perkumpulan kebatinan di Jawa yang
berpangkal dari paham Syekh Siti Jenar makin mendukung keberadaan
Vrijmetselarij (Freemason). Para elit Jawa yang menganut paham wihdatul
wujud (menyatunya manusia dengan Tuhan, red) yang dibawa oleh Syekh Siti
Jenar, kemudian banyak yang menjadi anggota Theosofi-Freemasonry, baik
secara murni ataupun mencampuradukkannya dengan kebatinan Jawa…” (hal.8)
Para elit Jawa dan tokoh-tokoh kebangsaan yang tergabung sebagai anggota
Theosofi-Freemason di Indonesia pada masa lalu kerap kali berada di
balik berbagai pelecehan terhadap Islam. Misalnya, mereka menyebut ke
Boven Digul lebih baik daripada ke Makkah, mencela syari’at poligami,
dan menyebut agama Jawa (Gomojowo) atau Kejawen lebih baik daripada
Islam. Penghinaan-penghinaan tersebut dilakukan secara sadar melalui
tulisan-tulisan di media massa dan ceramah-ceramah di perkumpulan
mereka. Penghinaan-penghinaan itu makin meruncing, ketika para anggota
Theosofi-Freemason yang aktif dalam organisasi Boedi Oetomo, berseteru
dengan aktivis Sarekat Islam.
Pada sebuah rapat Gubernemen Boemipoetra tahun 1913, Radjiman
Wediodiningrat, anggota Theosofi-Freemason, menyampaikan pidato berjudul
“Een Studie Omtrent de S.I (Sebuah Studi tentang Sarekat Islam)” yang
menghina anggota SI sebagai orang rendahan, kurang berpendidikan, dan
mengedepankan emosional dengan bergabung dalam organisasi Sarekat Islam.
Radjiman dengan bangga mengatakan, bakat dan kemampuan orang Jawa yang
ada pada para aktivis Boedi Oetomo lebih unggul ketimbang ajaran Islam
yang dianut oleh para aktivis Sarekat Islam. Pada kongres Boedi Oetomo
tahun 1917, ketika umat Islam yang aktif di Boedi Oetomo meminta agar
organisasi ini memperhatikan aspirasi umat Islam, Radjiman dengan tegas
menolaknya. Radjiman mengatakan, “Sama sekali tidak bisa dipastikan
bahwa orang Jawa di Jawa Tengah sungguh-sungguh dan sepenuhnya menganut
agama Islam.”
Anggota Theosofi lainnya yang juga aktivis Boedi Oetomo, Goenawan
Mangoenkoesoemo, juga melontarkan pernyataan yang melecehkan Islam. Adik
dari dr. Tjipto Mangoekoesomo ini mengatakan, “Dalam banyak hal, agama
Islam bahkan kurang akrab dan kurang ramah hingga sering nampak
bermusuhan dengan tabiat kebiasaan kita. Pertama-tama ini terbukti dari
larangan untuk menyalin Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Rakyat Jawa biasa
sekali mungkin memandang itu biasa. Tetapi seorang nasionalis yang
berpikir, merasakan hal itu sebagai hinaan yang sangat rendah. Apakah
bahasa kita yang indah itu kurang patut, terlalu profan untuk
menyampaikan pesan Nabi?”
Goenawan Mangoenkoesomo adalah diantara tokoh nasional yang hadir dalam
pertemuan di Loji Theosofi Belanda pada 1918, selain Ki Hadjar
Dewantara, dalam rangka memperingati 10 tahun berdirinya Boedi Oetomo.
Apa yang ditulis Goenawan di atas dikutip dari buku Soembangsih
Gedenkboek Boedi Oetomo 1908-Mei 1918 yang diterbitkan di Amsterdam,
Belanda. Dalam buku yang sama, masih dengan nada melecehkan, Goenawan
menulis, “Jika kita berlutut dan bersembahyang, maka bahasa yang boleh
dipakai adalah bahasanya bangsa Arab…”
Organisasi kepemudaan yang bercorak kebatinan Jawa pada masa lalu juga
tak lepas dari pengaruh Theosofi-Freemason. Sejarah mencatat, organisasi
kepemudaan ini disusupi kepentingan yang berusaha menyingkirkan Islam.
Dalam catatan sejarah, keluarnya Syamsuridjal dari keanggotaan Jong Java
(Perkumpulan Pemuda Jawa) dan kemudian mendirikan Jong Islamietend Bond
(JIB/ Perhimpunan Pemuda Islam) adalah karena organisasi Jong Java
menolak untuk mengadakan kuliah atau pengajaran keislaman bagi
anggotanya yang beragama Islam dalam organisasi ini. Sementara, agama
Katolik dan Theosofi justru mendapat tempat untuk diajarkan dalam
pertemuan-pertemuan Jong Java. Pada masa lalu, Jong Java adalah
organisasi yang berada dalam pengaruh kebatinan Theosofi.
Sosok yang dianggap berpengaruh dalam menyingkirkan Islam dari
organisasi Jong Java adalah Hendrik Kraemer, utusan Perkumpulan Bibel
Belanda yang diangkat menjadi penasihat Jong Java. Sejarawan Karel
Steenbrink dalam “Kawan dalam Pertikaian:Kaum Kolonial Belanda Islam di
Indonesia 1596-1942″ menulis bahwa Kraemer adalah misionaris Ordo Jesuit
yang aktif memberikan kuliah Theosofi dan ajaran Katolik kepada anggota
Jong Java. Di organisasi pemuda inilah, Kraemer masuk untuk menihilkan
ajaran-ajaran Islam. (Lihat, Karel Steenbrink, hal.162-163)
Selain Syamsuridjal, permintaan agar Islam diajarkan dalam pengajaran di
Jong Java juga disuarakan Kasman Singodimedjo. Kasman bahkan
mengusulkan agar Jong Java menggunakan asas Islam dalam pergerakan dan
menjadi pionir bagi organisasi-organisasi pemuda lain, seperti Jong
Sumatrenan, Jong Celebes, dan Pemuda Kaum Betawi. Kasman beralasan,
Islam adalah agama mayoritas di Nusantara, dan mampu menyelesaikan
segala sengketa dalam organisasi-organisasi yang saat itu banyak
terpecah belah. Karena tak disetujui, maka pada 1 Januari 1925, para
pemuda Islam mendirikan Jong Islamietend Bond (JIB/Perkumpulan Pemuda
Islam) di Jakarta. Dengan menggunakan kata “Islam”, JIB jelas ingin
menghapus sekat-sekat kedaerahan dan kesukuan, dan mengikat dalam tali
Islam.
Dalam statuten JIB dijelaskan tentang asas dan tujuan perkumpulan ini:
Pertama, mempelajari agama Islam dan menganjurkan agar ajaran-ajarannya
diamalkan. Kedua, menumbuhkan simpati terhadap Islam dan pengikutnya,
disamping toleransi yang positif terhadap orang-orang yang berlainan
agama. Dalam kongres pertama JIB, Syamsuridjal dengan tegas menyatakan,
“Berjuang untuk Islam, itulah jiwa organisasi kita.”
Untuk mengkonter pelecehan-pelecehan terhadap Islam, para pemuda Islam
yang tergabung dalam JIB kemudian mendirikan Majalah Het Licht yang
berarti Cahaya (An-Nur). Majalah ini dengan tegas memposisikan dirinya
sebagai media yang berusaha menangkal upaya dari kelompok di luar Islam
yang ingin memadamkan Cahaya Allah, sebagaimana yang pernah mereka
rasakan saat masih berada di Jong Java. Motto
Majalah Het Licht yang tercantum dalam sampul depan majalah ini dengan
tegas merujuk pada Surah At-Taubah ayat 32: “Mereka berusaha memadamkan
cahaya (agama) Allah dengan mulut-mulut mereka, tetapi Allah menolaknya,
malah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir
itu tidak menyukai.”
JIB dengan tegas juga mengkonter pelecehan terhadap Islam, sebagaimana dilakukan oleh Majalah Bangoen, majalah yang dipimpin oleh aktifis Theosofi, Siti Soemandari. Majalah Bangoen yang dibiayai oleh organisasi Freemason pada edisi 9-10 tahun 1937 memuat artikel-artikel yang menghina istri-istri Rasulullah. Penghinaan itu kemudian disambut oleh para aktivis JIB dan umat Islam lainnya dengan menggelar rapat akbar di Batavia.
JIB dengan tegas juga mengkonter pelecehan terhadap Islam, sebagaimana dilakukan oleh Majalah Bangoen, majalah yang dipimpin oleh aktifis Theosofi, Siti Soemandari. Majalah Bangoen yang dibiayai oleh organisasi Freemason pada edisi 9-10 tahun 1937 memuat artikel-artikel yang menghina istri-istri Rasulullah. Penghinaan itu kemudian disambut oleh para aktivis JIB dan umat Islam lainnya dengan menggelar rapat akbar di Batavia.
Sebelumnya, pada 1926, dua tahun sebelum peristiwa Sumpah Pemuda, para
aktivis muda yang berasal dari Jong Theosofen (Pemuda Theosofi) dan Jong
Vrijmetselaarij (Pemuda Freemason) sibuk mengadakan pertemuan-pertemuan
kepemudaan. Pada tahun yang sama, mereka berusaha mengadakan kongres
pemuda di Batavia yang ditolak oleh JIB, karena kongres ini didanai oleh
organisasi Freemason dan diadakan di Loge Broderketen, Batavia. Alasan
penolakan JIB, dikhawatirkan kongres ini disusupi oleh
kepentingan-kepentingan yang berusaha menyingkirkan Islam. Apalagi,
Tabrani, penggagas kongres ini adalah anggota Freemason dan pernah
mendapat beasiswa dari Dienaren van Indie (Abdi Hindia), sebuah lembaga
beasiswa yang dikelola aktivis Theosofi-Freemason.
Pada tahun 1922, sebagaimana ditulis oleh A.D El Marzededeq dalam
“Jaringan Gelap Freemasonry: Sejarah dan Perkembangannya Hingga ke
Indonesia” disebutkan bahwa di Loge Broderketen, Batavia, juga pernah
terjadi aksi pelecehan terhadap Islam oleh salah seorang aktivis
Freemason yang memberikan pidato pada saat itu dengan mengatakan, “Islam
menurut mereka itu merupakan paduan kultur Arab, Yudaisme, dan Kristen.
Indonesia mempunyai kultur sendiri, dan kultur Arab tidak lebih tinggi
dari Indonesia. Mana mereka mempunyai Borobudur dan Mendut?
Para aktivis nasionalis sekular, terutama mereka yang aktif dalam
organisasi Theosofi dan Freemason berusaha menjauhkan peran agama,
khususnya Islam, dalam sistem pemerintahan. Negara tak perlu diatur oleh
agama, cukup dengan nalar dan moral manusia.
Paham kebangsaan yang diusung oleh kelompok nasionalis sekular pada masa
lalu di negeri ini adalah ideologi “keramat” yang netral agama (laa diniyah) dan
kerap dibentur-benturkan dengan Islam. Kelompok nasionalis sekular,
sebagaimana tercermin dalam pemikiran Soekarno dan para aktivis
kebangsaan lainnya yang ada dalam organisasi seperti Boedi Oetomo,
adalah mereka yang menolak agama turut campur dalam sistem pemeritahan.
Mereka berusaha menjauhkan peran agama, khususnya Islam, dalam sistem
berbangsa dan bernegara. Mereka menjadikan Turki sekular di bawah
pimpinan Mustafa Kemal At-Taturk sebagai kiblat dalam mengelola
pemerintahan.
Kiblat kelompok kebangsaan kepada Turki Sekular tercermin jelas dalam
pernyataan tokoh Boedi Oetomo, dr Soetomo yang mengatakan, “Perkembangan
yang terjadi di Turki adalah petunjuk jelas, bahwa cita-cita
“Pan-Islamisme” telah digantikan oleh nasionalisme.” Dengan rasa bangga,
saat berpidato dalam Kongres Partai Indonesia Raya (Parindra) pada
1937, Soetomo mengatakan,”Kita harus mengambil contoh dari bangsa-bangsa
Jahudi, jang menghidupkan kembali bahasa Ibrani. Sedang bangsa Turki
dan Tsjech kembali menghormati bangsanya sendiri.”
Tokoh Boedi Oetomo lainnya, dr Tjipto Mangoenkoesomo, juga dengan sinis
meminta agar bangsa ini mewaspadai bahaya “Pan-Islamisme”, yaitu bahaya
persatuan Islam yang membentang di berbagai belahan dunia, dengan sistem
dan pemerintahan Islam di bawah khilafah Islamiyah. Pada 1928, Tjipto
Mangoenkoesoemo menulis surat kepada Soekarno yang isinya mengingatkan
kaum muda untuk berhati-hati akan bahaya Pan-Islamisme yang menjadi
agenda tersembunyi Haji Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto. Tjipto
khawatir, para aktivis Islam yang dituduh memiliki agenda mengobarkan
Pan-Islamisme di Nusantara itu bisa menguasai Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jika mereka berhasil masuk dalam PPKI,
kata Tjipto, maka cita-cita kebangsaan akan hancur.
Pernyataan Tjipto Mangoenkoesomo makin memperjelas sikap kalangan
pengusung paham kebangsaan atau nasionalis sekular yang berusaha
membendung segala upaya dan cita-cita Islam dalam pergerakan nasional
dan pemerintahan di negeri ini. Sebelum kemerdekaan, perdebatan soal
Islam dan kebangsaan antara kelompok nasionalis sekular yang diwakili
oleh Soekarno dan kawan-kawan dengan kelompok Islam yang diwakili A.
Hassan, M. Natsir, dan H. Agus Salim begitu menguat ke publik. Berbagai
polemik tentang dasar negara menjadi perbincangan terbuka di media
massa. Kelompok Islam menginginkan negara yang nantinya merdeka,
menjadikan Islam sebagai landasan bernegara. Sementara kelompok
nasionalis sekular berusaha memisahkan agama dan pemerintahan. “Manakala
agama dipakai buat memerintah masyarakat-masyarakat manusia, ia selalu
dipakai sebagai alat penghukum di tangan raja-raja, orang-orang zalim,
dan orang-orang tangan besi,” kata Soekarno mengutip perkataan Mahmud
Essad Bey.
Sarekat Islam (SI), sebagai organisasi pergerakan yang mengusung
cita-cita Islam, melalui tokohnya HOS Tjokroaminoto memang menyerukan
kepada SI untuk melancarkan gerakan tandzim guna
mengatur kehidupan rakyat di lapangan ekonomi, sosial, budaya, menurut
asas-asas Islam. Sedangkan H. Agus Salim, selain menyerukan perlawanan
terhadap kapitalisme, juga menyerukan tentang kekhilafahan Islam dan
Pan-Islamisme, sehingga berdiri apa yang disebut dengan Central Comite Chilafat. Nasionalisme dalam pengertian Salim adalah memajukan nusa dan bangsa berdasarkan cita-cita Islam.
Mohammad Natsir dalam Majalah Pembela Islam tahun 1931 menulis bahwa kelompok yang ingin memisahkan agama dari urusan negara adalah kelompok ”laa diniyah” (netral
agama). Natsir menegaskan, ada perbedaan cita-cita antara kelompok
kebangsaan dan para aktivis Islam tentang visi negara merdeka. Natsir
menyatakan, kemerdekaan bagi umat Islam adalah untuk kemerdekaan Islam,
supaya berlaku peraturan dan undang-undang Islam, untuk keselamatan dan
keutamaan umat Islam khususnya, dan untuk semua makhluk Allah umumnya.
Natsir menyindir kelompok nasionalis sekular dengan mengatakan,
“Pergerakan yang berdasarkan kebangsaan tidak akan ambil pusing, apakah
penduduk muslimin Indonesia yang banyaknya kurang lebih 85% dari
penduduk yang ada, menjadi murtad, bertukar agama. Kristen boleh,
Theosofi bagus, Budha masa bodoh.”
Sementara kelompok kebangsaan, terutama mereka yang aktif dalam
organisasi Theosofi dan Freemason, mengampanyekan bahwa nasionalisme
yang dibangun di negeri ini harus sesuai dengan doktrin humanisme, di
mana manusia berhak menentukan hukum buatan sendiri yang bertujuan untuk
mengabdi kepada kemanusiaan, tanpa campur tangan agama manapun. Van
Mook, tokoh Freemason di Hindia Belanda ketika itu, dalam sebuah pidato
di Loge Mataram, Yogyakarta, tahun 1924, mengatakan, “Freemasonry
membimbing nasionalisme menuju cita-cita luhur dari humanitas.”
Paham humanisme yang dibawa oleh elit-elit kolonial, teruatama mereka
yang aktif sebagai anggota Theosofi dan Freemason inilah yang kemudian
“ditularkan” kepada “anak-anak didik” para priyai dan elit Jawa yang
menjadi abdi kompeni. Mereka mengampanyekan soal kesamaan semua
agama-agama, tidak percaya dengan hukum Tuhan dan mempercayai kodrat
alam, dan tentu saja sebagaimana trend imperialisme negara-negara Eropa
ketika itu, adalah mengampanyekan bahaya “Pan-Islamisme”, semangat
solidaritas Islam dunia untuk membangun sebuah pemerintahan.
Karena itu, untuk membendung Pan-Islamisme di Nusantara, apalagi ketika
itu banyak tokoh-tokoh Islam yang pulang dari haji dan menimba ilmu di
Makkah juga menyuarakan Pan-Islamisme, maka pemerintah kolonial
membentuk basis-basis tandingan dengan mendukung berdirinya
organisasi-organisasi kebangsaan seperti Boedi Oetomo, Jong Java, dan
lain sebagainya. Selain itu, mereka juga merangkul para priyai sebagai
kepanjangan tangan pemerintah kolonial, memberi keluasan bagi anak-anak
keturunan mereka untuk bersekolah di negeri Belanda, dan mendirikan
pendidikan-pendidikan netral (neutrale onderwijs), yang berbasis pada pembentukan karakter manusia dengan berpedoman pada hukum kodrat alam.
Tak sedikit dari para elit dan priyai Jawa ketika itu, baik yang aktif
dalam organisasi kebangsaan ataupun mereka yang menjabat sebagai
residen, asisten residen, wedana, dan sebagainya yang masuk dalam
organisasi Theosofi dan Freemason. Bahkan, tak sedikit juga dari mereka
yang masuk sebagai anggota Rotary Club, sebuah lembaga kemanusiaan yang
dibentuk oleh Zionisme Internasional. Pelecehan demi pelecehan terhadap
Islam dilakukan oleh para pengusung kebangsaan, seperti pernyataan bahwa
ke Boven Digul lebih baik daripada ke Makkah, pergi haji adalah upaya
menimbun modal nasional untuk kepentingan asing, Islam adalah agama
impor yang berusaha menjajah tanah Jawa, dan sebagainya.
Theosofi-Freemason tidak mempercayai adanya ritual doa kepada Sang Maha Pencipta. Mereka juga tak mempercayai adanya surga dan neraka. Anggota Theosofi yang mengaku muslim, membuat penafsiran ajaran Islam dengan pemahaman yang menyimpang.
Sebagai
perkumpulan kebatinan yang meyakini bahwa Tuhan punya banyak nama, dan
masing-masing agama hanyalah berbeda dalam memberi nama pada tuhannya,
maka penganut Theosofi yang mengaku beragama Islam, menerjemahkan
kalimat thayyibah “Laa Ilaaha Illallah” dengan
“Tiada Gusti Allah, melainkan Gusti Allah”. Terjemah tersebut kemudian
dijelaskan, bahwa pengertiannya ada dua macam: Pertama, kita tidak boleh
percaya lain rupa kekuasaan atau lain kekuatan melainkan Gusti Allah
punya kekuasaan sendiri. Kedua, yaitu yang Gusti Allah menempati
badannya manusia. Keterangan mengenai ini ditulis dalam Majalah Pewarta Theosofi Boeat Tanah Hindia Nederland, 1906.
Makna pertama, meskipun seolah terlihat bagus, bahwa kita tidak boleh
percaya kepada kekuasaan dan kekuatan selain yang dipunya Gusti Allah,
namun Gusti Allah dalam pandangan Theosofi adalah Tuhan yang dimiliki
oleh setiap agama-agama, yang merupakan kesatuan batin dalam keyakinan
(esoteris). Tuhan dalam keyakinan Theosofi punya banyak nama: God, Yahweh, Sang Hyang, dan
lain-lain, yang pada hakikatnya menurut mereka merujuk pada Zat Yang
Satu, meskipun namanya berbeda-beda, meskipun agamanya berlainan rupa.
Tokoh sekular pendiri Yayasan Paramadina, Nurcholish Madjid pernah
membuat sebuah tulisan dengan judul “Satu Tuhan Banyak Jalan”.
Terjemahan menyimpang tentang kalimat “Laa Ilaaha Illallah” juga pernah dilakukan oleh mendiang Nurcholish Madjid. Ia menerjemahkan kalimat ”Laa Ilaaha Illallah” dengan
“Tiada tuhan melainkan Tuhan”. Cak Nur yang merupakan lokomotif gerakan
sekular di Indonesia ini membagi tuhan (dengan “t” kecil) dengan Tuhan
(dengan “T” besar). Terjemahan Cak Nur dianggap mengacu pada terjemahan
ala Barat dan Bibel, yang menyebut Tuhan dengan sebutan “god” (dengan
“g” kecil) dan “God” (dengan “G” besar). Dalam Kitab Mazmur 109:1, 2
disebutkan “Tuhan telah bersabda kepada tuhanku.”
Dalam Islam, kata “Allah” adalah lafzhul jalalah (lafazh yang tinggi dan mulia), yang disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 2679 kali, yang semuanya dalam bentuk singular (mufrad) atau tunggal. Allah dalam keyakinan Islam adalah “al-ma’bud bi haqqin”, Zat
satu-satunya yang berhak untuk disembah, yang tidak ada bandingan-Nya,
tidak ada yang menyerupai-Nya, tidak berbilang dan tidak memiliki
nama-nama lain, kecuali Al-Asma’ Al-Husna yang
merupakan sifat-sifat keagungan-Nya. Kata “Allah” tidak bisa diartikan
dengan “Tuhan” sebagaimana kata “al-ilah”. (Lihat, Ahmad Husnan, Jangan
Terjemahkan Al-Qur’an Menurut Visi Injil dan Orientalis, Jakarta: Media
Dakwah, 1987)
Makna kedua dari kalimat “Laa Ilaaha Illallah” ala terjemah Theosofi, yaitu yang Gusti Allah menempati badannya manusia, adalah keyakinan kufur yang mengacu pada paham wihdatul wujud atau al-hulul. Paham ini pada masa lalu dikenal di Nusantara dengan istilah ”manunggaling kawula gusti”, yaitu
keyakinan bahwa manusia dan Tuhan itu manunggal, sebagaimana keyakinan
yang dibawa oleh Syekh Siti Jenar alias Syekh Lemah Abang. Theosofi
menyebut manunggalnya manusia dengan Tuhan sebagai pancaran yang disebut
dengan istilah “pletik Ilahi (God in being)”.
Manusia sejati (ingsun sejati) dalam
keyakinan Theosofi adalah manusia yang mengamalkan lelaku batin
sehingga bisa manunggal dengan Tuhan. Manusia sejati adalah pancaran
dari gambaran Tuhan. Maka Manusia Sejati harus mengamalkan asas-asas
Ilahi, yaitu kasih sayang, kebenaran, dan kesatuan hidup. “Dengan
mengenal diri kita sendiri, kita akan mengenal Tuhan, Kasunyatan Hidup,
Kebenaran. Tuhan itu Hidup, Jalan, Kebenaran, Kasih. Allah kasih
meliputi segala-galanya. Allah adalah semua dalam semua. Kita Hidup,
bergerak, dan ada di dalam Dia. “ Inilah yang disebut dengan pletik ilahi atau God in being. (PB Perwathin, No. 5, Tahun VIII, Mei 1973). Sang Kasih, menurut Theosofi, menggabungkan semua dalam kesatuan.
Keyakinan soal manunggalnya hamba dengan Tuhan juga diungkapkan tokoh
Boedi Oetomo, dokter Soetomo. Dalam buku “Kenang-kenangan Dokter
Soetomo” yang dihimpun oleh Paul W van der Veur, disebutkan bahwa
Soetomo pernah mengatakan bahwa pemancaran zat Tuhan,”Itulah sebenarnya
keyakinan saya. Itulah keyakinan yang mengalir bersama darah dalam
segala urat tubuh saya. Sungguh, sesuai-sesuai benar.” (hal. 30).
Soetomo juga mengatakan, “Aku dan Dia satu dalam hakikat, yakni
penjelmaan Tuhan. Aku penjelmaan Tuhan yang sadar…” (hal.31).
Soetomo sebagaimana para penganut kebatinan Theosofi lainnya, tidak
melakukan shalat lima waktu selayaknya umat Islam lainnya, melainkan
melakukan semedi, meditasi, yoga, dan sebagainya. “Soetomo lebih
mementingkan “semedi” untuk mendapat ketenangan hidup, ketimbang
sembahyang,” tulis Paul W van der Veur (hal.31). Karena cukup hanya
dengan semedi, maka para penganut kebatinan juga tidak melakukan ritual
doa kepada Sang Maha Kuasa. Bagi mereka semedi yang melahirkan sikap
eling sudah cukup untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Pendiri
Theosofi, Helena Petrovna Blavatsky dalam bukunya “Kunci Pembuka Ilmu
Theosofi (The Key to Theosophy)” menyatakan bahwa Theosofi tidak percaya
dengan doa, dan tidak melakukan doa. Theosofi mempercayai “doa kemauan”
yang ditujukan kepada Bapak di sorga dalam artian esoteris, yaitu Tuhan
yang tidak ada sangkut pautnya dengan bayangan manusia, atau Tuhan yang
menjadi intisari ilahiah yang dimiliki semua agama. Berdoa, kata
Blavatsky mengandung dua unsur negatif: Pertama, membunuh sifat percaya
diri manusia yang ada dalam diri manusia sendiri. Kedua, mengembangkan
sifat mementingkan diri sendiri.(hal.50).
Dalam Islam tentu berbeda, umat Islam dianjurkan untuk berdoa sebagai
sarana memohon pertolongan, memohon perlindungan, mengadukan segala
persoalan kepada Allah, Rabbul alamin. Berdoa juga wujud dari sikap
rendah hati seorang hamba dengan Tuhannya, selain juga sarana untuk
berkomunikasi secara intim dengan Sang Maha Pencipta.“Memohonlah kepada-Ku, maka niscaya Aku akan kabulkan permohonanmu…” (QS. Ghafir: 60). Di ayat lain, Allah berfirman,“Hai
orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan
sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah [2]: 153)
Selain tidak menjalankan ritual doa, Theosofi-Freemason juga tidak
meyakini adanya dosa dan pahala, surga dan neraka, bahkan tidak mengakui
adanya hukum Tuhan. Mereka berkeyakinan adanya hukum “kodrat alam”, di
mana ganjaran kebaikan dan hukuman bagi kejahatan ditentukan oleh kodrat
alam dan hati nurani. Keyakinan Theosofi menyatakan, “Kalau Anda
berbuat, maka akan ada orang yang membalas berbuat baik. Kalau Anda
berbuat jahat, maka akan ada orang yang membalas kejahatan Anda. That’s
all, ini saja.” Inilah yang disebut dengan “kodrat alam.”
Keyakinan ini tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan Islam.
Dalam Islam, orang yang berbuat baik, selain dapat balasan dari manusia
di dunia, juga akan mendapat balasan pahala dari Allah di akhirat kelak.
Begitu juga, jika berbuat jahat, selain mendapat balasan kejahatan di
dunia, juga akan mendapatkan dosa di akhirat. Orang Islam yang beriman
dan beramal shaleh akan masuk surga, orang-orang yang mengaku Islam
namun berbuat kejahatan dan kemusyrikan, apalagi mereka yang di luar
Islam atau kafir maka akan mendapatkan balasan di neraka. Inilah hukum
Tuhan, karena Islam meyakini ada kehidupan lagi setelah kematian nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
assalamu alaikum ... bagi anda sangat dibutuhkan komentarx buat kepentingan bersama sepanjang hayat dikandung badan... wassalam